RSS

Senin, 24 Mei 2010

Wayang Golek


Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. DiJawa Barat, selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.

Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabrata dengan menggunakan bahasa sunda dengan iringan gamelan sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron , sebuah peking, sebuah selentem , satu perangkat boning , satu perangkat boning rincik , satu perangkat kenong , sepasang gong(kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.

Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.

Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll.

Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.

Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya.

Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.

Angklung


Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.

Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Pulau Komodo


Pulau Komodo adalah sebuah pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara. Pulau Komodo dikenal sebagai habitat asli hewan komodo. Pulau ini juga merupakan kawasan Taman Nasional Komodo yang dikelola oleh Pemerintah Pusat. Pulau Komodo berada di sebelah barat Pulau Sumbawa, yang dipisahkan oleh Selat sape.

Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau Komodo merupakan ujung paling barat Provinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Di Pulau Komodo, hewan komodo hidup dan berkembang biak dengan baik. Hingga Agustus 2009, di pulau ini terdapat sekitar 1300 ekor komodo. Ditambah dengan pulau lain, seperti Pulau Rinca dan Gili Motang. umlah mereka keseluruhan mencapai sekitar 2500 ekor. Ada pula sekitar 100 ekor komodo di Cagar Alam Wae Wuul di daratan pulau flores tapi tidak termasuk wilayah taman nasional komodo.

Selain komodo, pulau ini juga menyimpan eksotisme flora yang beragam Kayu Sepang yang oleh warga sekitar digunakan sebagi obat dan bahan pewarna pakaian, pohon nitak ini atau sterculia oblongata di yakini berguna sebagai obat dan bijinya gurih dan enak seperti kacang polong.

Museum Perangko





Museum Prangko dihiasi sejumlah ukiran dan patung gaya Bali dan Jawa, dikelilingi pagar tembok dengan dua pintu gerbang yang mengambil model dasar candi bentar. Di sayap kanan dan kiri terdapat dua bangunan yang luas masing-masing 402 m2, sayap kanan digunakan kantor pengelola dan tempat pertemuan, sedangkan sayap kiri untuk kantor pos. Museum ini memamerkan koleksi aneka prangko Indonesia dan luar negeri. Di depan pintu masuk berdiri patung Hanoman, yang dalam pewayangan dikenal sebagai dhuta dharma pembawa berita, misinya sama dengan tugas pos. Di samping kiri dan kanan pintu masuk ada dua lukisan gaya Bali karya pelukis Wayan Sutha yang merupakan cuplikan cerita pewayangan versi Bali, menggambarkan bahwa pada masa sebelum kertas dikenal seperti sekarang surat-menyurat menggunakan daun ‘ron’ tal. Ruang pamer I menyajikan berbagai koleksi, antara lain foto bahan dan alat yang digunakan untuk menulis surat pada daun tal (ron tal); miniatur alat angkut surat tahun 1602 sampai tahun 1864; serta foto-foto prangko pertama di dunia yang dikenal dengan The Penny Black, tokoh pencetus prangko Sir Rowland Hill, Kantor Pos pertama di Batavia, prangko pertama Belanda yang terbit tahun 1852, dan klise prangko Belanda pertama bergambar Raja Willem III yang diterbitkan 1864. Ruang pamer II menampilkan materi berupa patung seorang perancang prangko, sejumlah slide proses pembuatan prangko dan proses melukis hingga menjadi prangko, silinder cetak yang digunakan untuk mencetak prangko seri lukisan Raden Saleh, dan penampang fiber glass mesin cetak prangko lima warna yang digunakan oleh Perum Peruri dilengkapi dengan motor penggerak. Pada ruang pamer III dapat dilihat sejumlah prangko yang terbit tahun 1864-1950 pada masa pemerintahan Belanda, Jepang, dan masa perang kemerdekaan, slide prangko Belanda dan Jepang bertema kebudayaan dan pariwisata, slide prangko peringatan 10 tahun Kemerdekaan RI, dan dua foto prangko bergambar Bung Karno dan Bung Hatta sebagai latar belakang prangko perjuangan yang dicetak di luar negeri. Ruang pamer IV menyajikan prangko dan carik kenangan (souvenir sheet) yang diterbitkan sejak tahun 1950 dengan lima masa penerbitan: tahun 1950-1959, tahun 1959-1966, tahun 1966-1973, tahun 1973-1983, dan tahun 1983-1993. Ruang pamer V terdapat prangko yang disusun berdasarkan periode dan tema tertentu. Dalam ruang ini disajikan prangko bertema sosial, pariwisata, taru dan satwa, lingkungan hidup, dan kemanusiaan. Ruang pamer VI memperagakan prangko tematik, khususnya kepramukaan dan olahraga, di dalam beberapa kotak penyajian, termasuk slide Ibu Tien Soeharto dengan seragam Pramuka ketika menandatangani Sampul Hari Pertama Prangko Jambore Internasional ke-IV di Cibubur pada Juli 1981.

Minggu, 02 Mei 2010

Pempek Bunga Mas

Salah satu makanan favorit Indonesia ini emang nggak bikin bosen. Kuahnya yang asem manis, beneran bikin nagih! Nah, kalo kamu penyuka pempek, aku rekomen kamu untuk nyobain Pempek Bunga Mas. Pempek asli Palembang yang udah ada sejak tahun 1981 ini punya kuah yang segerrr banget. Dengan range harga Rp.15.000 – Rp.30.000, pempek ini worth it buat dicoba. selain pempeknya ada lagi makanan khas palembang yang di jual di sini dan ngga kalah enak yaitu pempek model. sebenernya isinya berupa pempek juga, tapi bedanya ngga di makan dengan kuah cuka melainkan dengan kuah seperti kuah bakso. makanan-makanan yang enak ini perlu di coba! kalo berminat kamu tinggal dateng aja ke Mal Taman Anggrek di bagian food courtnya.
Oke, selamat mencoba ya!